Dalam struktur masyarakat, mahasiswa dikenal sebagai kelompok menengah (middle class). Kategorisasi ini bukan tanpa alasan. Mahasiswa diberikan kelebihan menyerap pengetahuan, daya nalar dan kepekaan sosial. Kompetensi yang menjadikan mahasiswa didaulat sebagai makhluk intelektual penerus masa depan bangsa.
Kedudukan strategis mahasiswa sebagai kaum intelektual diamini banyak kalangan. Mengutip Sejarawan Arnold Toynbe, intelektual diartikan sebagai human transformer atau pengubah nasib manusia. Kalangan intelektual dipercaya mampu memberikan pencerahan atas problematika yang terjadi. Lebih jauh, tokoh revolusi Islam Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis mencerahkan lapisan masyarakat yang tertinggal.
Tapi, belakangan daya intelektualitas mahasiswa mendapatkan ujian. Banyak mahasiswa melupakan tradisi intelektual seperti membaca, menulis, diskusi dan riset. Aktivitas mahasiswa banyak dipusatkan kegiatan hedonisme dan nongkrong tanpa kejelasan.
Perpustakaan kampus sepi, kalah dibandingkan pusat perbelanjaan. Mahasiswa berkembang menjadi konsumtif, kehilangan budaya produktif seperti membaca.
Penulis sempat berfikir, jika mahasiswa malas membaca mau jadi apa bangsa Indonesia di masa depan? Sebab berdasarkan survei Unesco, minat baca masyarakat Indonesia terendah di ASEAN. Dari 39 negara di dunia, Indonesia menempati posisi ke-38. Tidak kalah memprihatinkan, data UNDP menunjukkan posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos yang masing-masing berada di urutan angka seratus.
Merespons kebuntuan itu, agaknya mahasiswa membutuhkan penyadaran. Sebab kegiatan membaca, meminjam istilah Anies Baswedan (rektor Paramadina) dapat menjadi medium mencapai kegemilangan masa kini. Mahasiswa banyak membaca cenderung mudah menyampaikan gagasan, berpengetahuan luas dan merangsang penalaran kritis. Dirinya akan terlatih kepekaan sosialnya sehingga mampu merumuskan tantangan di masa depan.
Membaca itu produktif
Dalam Islam, ayat pertama kali diturunkan adalah Iqra (bacalah). Islam mengajak setiap muslim melepaskan dirinya dari kebodohan. Sebab, membaca dapat menjadi fondasi awal menularkan kebiasaan produktif lain seperti menulis. Rasulullah sendiri dikenal sebagai sosok ummi (tidak bisa membaca), tapi kemampuan membaca menjadi perhatiannya.
Sebagai contoh, Rasululllah dalam sebuah peperangan Rasulullah banyak menawan musuh. Ketika mereka minta dibebaskan, beliau setuju dengan syarat satu orang tawanan mengajarkan membaca dan menulis bagi anak – anak Muslim.
Setidaknya, ada tiga nilai produktif jika mahasiswa hobi membaca. Pertama, menghasilkan buku. Bagi Kebiasaan membaca dapat menularkan tradisi intelektual lain yaitu menulis. Efek positif banyak membaca membuat ketajaman berfikir dan intuisi terasah. Karena itu, tidak heran banyak mahasiswa “doyan baca” membuat buku sebagai konseptualisasi dan impelementasi gagasan hasil dari apa yang dibaca.
Kedua, sarana melawan atas kezaliman. Soekarno dikenal sebagai pembaca ulung. Sejak mahasiswa dirinya sibuk menyantap buku. Tidak heran, masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai orator ulung. Salah satu pledoinya “Indonesia menggugat” di Bandung tahun 1930 adalah kata-kata perlawanan yang merupakan hasil kebiasannya membaca. Tidak ketinggalan Pramoedya Ananta Toer, kebiasaan membaca membuatnya menulis banyak buku yang berkisah perlawanan atas kezaliman penguasa.
Ketiga, pandangan luas. Sangat terasa berbicara dengan orang yang suka membaca. Ketika diajak bicara suatu topik, dia tidak kesulitan menyambungkannya. Kematangan dialektika, sistematika pembicaraan dan referensi bacaan sangat luas. Berbeda dengan mahasiswa tidak banyak membaca. Ketika bicara dirinya asbun (asal bunyi) , pemahaman atas suatu topik sempit dan cenderung berujung kepada debat kusir.
Percayalah, tidak ada ruginya ada menjadi seorang yang suka membaca. Karena buku membuat jendela dunia terbuka. Itu mengapa, banyak orang besar dilahirkan dari tingginya minat dan budaya membaca. Sehingga ketika dia diberikan kepercayaan memimpin bangsa tidak terjebak pandangan sempit dan egoisme saja.
Belajar dari Jepang
Sastrawan Ahmadun Herfanda dalam bukunya “Yang Muda Yang Membaca” memberikan contoh budaya membaca bangsa Jepang. Menurutnya, Jepang adalah salah satu bangsa yang menjadikan bahan bacaan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat. Tidak lama pasca kekalahan Perang Dunia ke II dan insiden bom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang cepat bangkit. Pemerintah Jepang mengambil sikap menerjemahkan buku asing ke bahasa Jepang sampai melupakan hak cipta. Hasilnya, Jepang berjaya sebagai salah satu macam Asia. Industri otomotifnya menyaingi AS dan Eropa.
Minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji. Lebih seabad lalu Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun, ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan. (Toeti Adhitama, 2011)
Kejayaan budaya baca Jepang itu layak ditiru mahasiswa Indonesia. Mereka perlu bergerak simultan memperkuat daya nalar, daya kritis dan intelektualisme. Kebiasaan hedonisme sudah waktunya ditinggalkan dan digantikan tradisi baca. Tantangan globalisasi dan kemajuan IPTEK membutuhkan kompetensi manusia cerdas intelektual, spiritual dan emosional. Dalam konteks tersebut, sudah seharusnya mahasiswa tidak menjauh dari aktivitas akademik. Jika mahasiswa mampu melakukannya, percayalah kita, saya dan mungkin anda layak menaruh harapan pada masa depan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar